Tuesday 19 August 2008

Syair 31 (II:9. Kisah Nigamavasitissa)


Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi seorang bhikkhu dia hidup dengan sederhana, dengan mempunyai hanya sedikit keinginan.

Untuk berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa tempat saudaranya tinggal dan mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam jumlah besar kepada para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.

Beberapa orang bhikkhu kemudian membicarakan hal tersebut. Bahwa beliau lebih dekat dengan saudara-saudaranya dan tidak mempedulikan orang lain seperti Anathapindika dan Raja Pasenadi, yang ingin berbuat jasa dengan memberikan dana makanan.

Ketika Sang Buddha menerima laporan ini, Beliau mengundang Nigamavasitissa dan menanyakan hal itu.

Bhikkhu Nigamavasitissa dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa memang benar ia sering mengunjungi desanya, tetapi hanya pada saat berpindapatta. Ketika dia telah mendapatkan makanan yang cukup, dia tidak akan berjalan lebih jauh lagi, dan dia tidak pernah mempersoalkan apakah makanan itu enak atau tidak.

Sang Buddha tidak menegur setelah mendengar penjelasan bhikkhu Nigamavatissa bahkan Beliau menghargai tindakannya dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain.

Beliau bahkan menganjurkan kepada murid-muridnya, untuk hidup puas dengan sedikit keinginan, sesuai dengan ajaran Buddha dan para Ariya, dan begitulah semua bhikkhu seharusnya, mencontoh tindakan bhikkhu Tissa dari kota dagang kecil.

Berkenaan dengan ini, Beliau menceritakan kisah Raja dari burung nuri.

Pada masa dahulu kala, tinggallah raja burung nuri di lobang sebuah pohon besar yang tumbuh di muara sungai Gangga, dengan sejumlah besar pengikutnya. Ketika buah-buahan telah habis dimakan, semua burung nuri pergi meninggalkan lobang tersebut, kecuali sang raja, yang puas pada apa yang masih tersisa di pohon tersebut.

Sakka, mengetahui hal ini dan ingin menguji ketulusan hati raja nuri tesebut. Sakka pergi ke pohon tersebut dengan kekuatan supranaturalnya. Kemudian, dengan menyamar sebagai angsa, Sakka dan permaisurinya, Sujata, mengunjungi tempat di mana raja nuri tersebut tinggal dan menanyakan kenapa dia tidak meninggalkan pohon tua tersebut seperti yang telah dilakukan nuri lain; mencari pohon lain yang berbuah lebat.

Raja nuri menjawab,"Karena perasaan terima kasih kepada pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya. Akan tidak berterima kasih sekali jika aku meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati."

Sakka sangat terkesan dengan jawaban tersebut, dia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dia mengambil air dari Sungai Gangga dan menyiramkannya di sekitar pohon tersebut. Segera pohon itu menjadi segar kembali; tumbuh kembali dengan cabang-cabang yang rimbun dan hijau, penuh dengan buah.

Sangat bijaksana meskipun seekor binatang tidak rakus, mereka puas dengan apa yang tersedia. Raja nuri yang ada dalam kisah itu adalah Sang Buddha sendiri; Sakka adalah Anuruddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 32 berikut:

Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan tak akan terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu nibbana.

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 31 (II:8. Kisah Seorang Bhikkhu)


Seorang bhikkhu, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk bermeditasi. Meskipun dia berlatih dengan sungguh-sungguh dia hanya memperoleh kemajuan yang sangat kecil. Akibatnya, ia menjadi frustasi. Dengan berpikir akan memperoleh petunjuk dari Sang Buddha, dia meninggalkan hutan menuju Vihara Jetavana.

Dalam perjalanannya, dia melewati nyala api yang sangat besar. Dia berlari menuju puncak gunung dan mencari dari mana api tersebut datang. Melihat api yang membakar itu, ia termenung. Pikirnya, seperti api yang membakar habis semuanya, begitu juga pandangan terang akan membakar semua belenggu kehidupan, besar dan kecil.

Sementara itu, dari Kamar Harum (Gandhakuti) di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirkan oleh bhikkhu tersebut. Beliau menampakkan diri dan berkata,"Anak-Ku, engkau berada di jalan pikiran yang benar.

ertahankanlah! Semua makhluk harus membakar belenggu kehidupannya dengan pandangan terang."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 31 berikut :

Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan akan maju terus, membakar semua rintangan batin, bagaikan api membakar kayu baik yang besar maupun yang kecil.

Bhikkhu tersebut berhasil mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma berakhir.

Syair 30 (II:7. Kisah Magha)


Suatu waktu, seorang Pangeran Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapanha Suttanta. Sang Buddha menceritakan tentang Sakka yang selalu bersemangat. Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka secara langsung. Untuk meyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, "Mahali, Aku mengenal Sakka; Aku juga mengetahui apa yang menyebabkan dia menjadi Sakka." Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali bahwa Sakka, raja para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama Magha, tinggal di desa Macala.

Pemuda Magha dan tiga puluh dua temannya pergi untuk membangun jalan dan tempat tinggal. Magha juga bertekad untuk melakukan tujuh kewajiban. Tujuh kewajiban tersebut adalah :



1.dia akan merawat kedua orang tuanya;
2.dia akan menghormati orang yang lebih tua;
3.dia akan berkata sopan;
4.dia akan menghindari membicarakan orang lain;
5.dia tidak akan menjadi orang kikir, dia akan menjadi orang yang murah hati;
6.dia akan berkata jujur; dan
7.dia akan menjaga dirinya untuk tidak mudah marah.

Karena kelakuannya yang baik dan tingkah lakunya yang benar pada kehidupannya yang lampau Magha dilahirkan kembali sebagai Sakka, raja para Dewa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 30 berikut :

Dengan menyempurnakan kewaspadaan Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa. Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji dan kelengahan akan selalu dicela.

Syair 29 (II:6. Kisah Dua Bhikkhu Yang Bersahabat)


Dua orang bhikkhu, setelah memperoleh suatu obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke vihara yang letaknya di dalam hutan.

Salah satu dari mereka lengah, dia menghabiskan waktunya untuk menghangatkan tubuh dengan api dan berbicara pada waktu-malam pertama, dan ini menghabiskan waktunya.

Bhikkhu yang lain dengan rajin mengerjakan tugasnya sebagai bhikkhu. Dia berjalan sambil bermeditasi selama waktu-malam pertama, beristirahat selama waktu-malam kedua dan bermeditasi lagi pada waktu-malam terakhir sepanjang malam. Kemudian, karena rajin dan selalu waspada, bhikkhu kedua ini mencapai tingkat kesucian arahat dalam waktu singkat.

Pada akhir masa vassa keduanya pergi untuk menghormat Sang Buddha, dan Beliau menanyakan bagaimana mereka menghabiskan waktu selama bervassa.

Bhikkhu pemalas dan lengah menjawab bahwa bhikkhu yang lain hanya menghabiskan waktunya dengan berbaring dan tidur. Sang Buddha kemudian bertanya, "Bagaimana dengan kamu sendiri ?" Jawabannya bahwa dia selalu duduk menghangatkan tubuh dengan api pada waktu-malam pertama dan kemudian duduk tanpa tidur.

Tetapi Sang Buddha mengetahui dengan baik bagaimana kedua bhikkhu tersebut telah menghabiskan waktu, maka Beliau berkata kepada bhikkhu yang malas, "Meskipun kamu malas dan lengah kamu mengatakan bahwa kamu rajin dan selalu waspada; tetapi kamu telah mengatakan bahwa bhikkhu yang lain kelihatan malas dan lengah meskipun dia rajin dan selalu waspada. Kamu seperti seekor kuda yang lemah dan lamban dibandingkan dengan anak-Ku yang seperti kuda yang kuat dan tangkas."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 29 berikut ini:

Waspada di antara yang lengah, berjaga di antara yang tertidur; orang bijaksana akan maju terus, bagaikan seekor kuda yang tangkas berlari meninggalkan kuda yang lemah di belakangnya.

Syair 28 (II:5. Kisah Mahakassapa Thera)


Suatu waktu ketika Mahakassapa Thera tinggal di gua Pipphali, beliau menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kesadaran batin aloka kasina dan mencoba untuk memperoleh kemampuan batin mata dewa, mengetahui siapa yang waspada dan siapa yang lengah, juga siapa yang mati dan akan dilahirkan.

Sang Buddha, dari vihara, mengetahui melalui kemampuan batin mata dewa Beliau, apa yang dikerjakan oleh Mahakassapa Thera dan ingin mengingatkan bahwa apa yang dia lakukan hanyalah menghabiskan waktu. Maka Beliau menampakkan diri di depan thera tersebut dan berkata, "Anakku Kassapa, jumlah kelahiran dan kematian makhluk hidup tak terhitung dan tak dapat dihitung. Hal ini bukan tugasmu; hal ini adalah tugas para Buddha."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 28 berikut ini :

Bilamana orang bijaksana telah mengatasi kelengahan dengan kewaspadaan, maka ia akan bebas dari kesedihan, seakan memanjat menara kebijaksanaan dan memandang orang-orang yang menderita di sekelilingnya, seperti seseorang yang berdiri di atas gunung memandang mereka yang berada di bawah.

Syair 25 (II-3. Kisah Culapanthaka)


Bendahara Kerajaan di Rajagaha mempunyai dua orang cucu laki-laki bernama Mahapanthaka dan Culapanthaka. Mahapanthaka, yang tertua, selalu menemani kakeknya mendengarkan khotbah Dhamma. Kemudian Mahapanthaka bergabung menjadi murid Sang Buddha.

Culapanthaka mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi, karena pada kehidupannya yang lampau pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Culapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka dia dilahirkan sebagai orang dungu pada kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat meskipun hanya satu syair dalam empat bulan. Mahapanthaka sangat kecewa dengan adiknya dan mengatakan bahwa adiknya tidak berguna.

Suatu waktu, Jivaka datang ke vihara mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu yang ada, untuk berkunjung makan siang di rumahnya. Mahapanthaka, yang diberi tugas untuk memberitahu para bhikkhu tentang undangan akan siang tersebut, mencoret Culapanthaka dari daftar undangan. Ketika Culapanthaka mengetahui hal itu dia merasa sangat kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai seorang perumah tangga.

Mengetahui keinginan tersebut, Sang Buddha membawanya dan menyuruhnya duduk di depan Gandhakuti. Kemudian Beliau memberikan selembar kain bersih kepada Culapanthaka dan menyuruhnya untuk duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain itu. Pada waktu bersamaan dia harus mengulang kata "Rajoharanam", yang berarti "kotor". Sang Buddha kemudian pergi ke tempat kediaman Jivaka, menemani para bhikkhu.

Culapanthaka mulai menggosok selembar kain tersebut, sambil mengucapkan "Rajoharanam". Berulang kali kain itu digosok dan berulang kali pula kata-kata rajoharanam meluncur dari mulutnya.

Berulang dan berulang kali.

Karena terus menerus digosok, kain tersebut menjadi kotor. Melihat perubahan yang terjadi pada kain tersebut, Culapanthaka tercenung. Ia segera menyadari ketidakkekalan segala sesuatu yang berkondisi.

Dari rumah Jivaka, Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya mengetahui kemajuan Culapanthaka. Beliau dengan kekuatan supranaturalnya menemui Culapanthaka, sehingga seolah-olah Beliau tampak duduk di depan Culapanthaka, dan berkata :

"Tidak hanya selembar kain yang dikotori oleh debu; dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga), debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal tersebut seseorang dapat mencapai tujuannya dan mencapai arahat."

Culapanthaka mendengarkan pesan tersebut dan meneruskan bermeditasi. Dalam waktu yang singkat mata batinnya tebuka dan ia mencapai tingkat kesucian arahat, bersamaan dengan memiliki ‘Pandangan Terang Analitis? Maka Culapanthaka tidak lagi menjadi orang dungu.

Di rumah Jivaka, para umat akan menuang air sebagai tanda telah melakukan perbuatan dana; tetapi Sang Buddha menutup mangkoknya dengan tangan dan berkata bahwa masih ada bhikkhu yang ada di vihara. Semuanya mengatakan bahwa tidak ada bhikkhu yang tertinggal. Sang Buddha menjawab bahwa masih ada satu orang bhikkhu yang tertinggal dan memerintahkan untuk menjemput Culapanthaka di vihara.

Ketika pembawa pesan dari rumah Jivaka tiba di vihara, dia menemukan tidak hanya satu orang, tetapi ada seribu orang bhikkhu yang serupa. Mereka semua diciptakan oleh Culapanthaka, yang sekarang telah memiliki kekuatan supranatural. Utusan tersebut kagum dan dia pulang kembali dan melaporkan hal ini kepada Jivaka.

Utusan itu kembali diutus ke vihara untuk kedua kalinya dan diperintahkan untuk mengatakan bahwa Sang Buddha mengundang bhikkhu yang bernama Culapanthaka. Tetapi ketika dia menyampaikan pesan tersebut, seribu suara menjawab, " Saya adalah Culapanthaka." Dengan bingung, dia kembali ke rumah Jivaka untuk kedua kalinya.

Untuk ketiga kalinya dia disuruh kembali ke vihara. Kali ini, dia diperintahkan untuk menarik bhikkhu yang dilihatnya pertama kali mengatakan bahwa dia adalah Culapanthaka. Dengan cepat dia memegangnya dan semua bhikkhu yang lain menghilang, dan Culapanthaka menemani utusan tersebut ke rumah Jivaka.

Setelah makan siang, seperti yang diperintahkan oleh Sang Buddha, Culapanthaka menyampaikan khotbah Dhamma, khotbah tentang keyakinan dan keberanian, mengaum bagaikan raungan seekor singa muda. Ketika masalah Culapanthaka dibicarakan di antara para bhikkhu, Sang Buddha berkata bahwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya akan mencapai tingkat kesucian arahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 25 berikut ini :

Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya sendiri yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.

Syair 24 (II:2. Kisah Kumbhaghosaka, Seorang Bankir)


Suatu ketika ada suatu wabah penyakit menular menyerang kota Rajagaha. Di rumah bendahara kerajaan, para pelayan banyak yang meninggal akibat wabah tersebut. Bendahara dan istrinya juga terkena wabah tersebut. Ketika mereka berdua merasa akan mendekati ajal, mereka memerintahkan anaknya Kumbhaghosaka untuk pergi meninggalkan mereka, pergi dari rumah dan kembali lagi pada waktu yang lama, agar tidak ketularan. Mereka juga mengatakan kepada Kumbhaghosaka bahwa mereka telah mengubur harta sebesar 40 crore. Kumbhaghosaka pergi meninggalkan kota dan tinggal di hutan selama 12 tahun dan kemudian kembali lagi ke kota asalnya.

Seiring dengan waktu, Kumbhaghosaka tumbuh menjadi seorang pemuda dan tidak seorangpun di kota yang mengenalinya. Dia pergi ke tempat di mana harta karun tersebut disembunyikan dan menemukannya masih dalam keadaan utuh. Tetapi dia menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengenalinya lagi. Jika dia menggali harta tersebut dan menggunakannya, masyarakat mungkin berpikir seorang lelaki miskin secara tidak sengaja telah menemukan harta karun dan mereka mungkin akan melaporkannya kepada Raja. Dalam kasus ini, hartanya akan disita dan dia sendiri mungkin akan ditangkap. Maka dia memutuskan untuk sementara waktu ini tidak menggali harta tersebut dan untuk sementara dia harus mencari pekerjaan untuk membiayai penghidupannya.

Dengan mengenakan pakaian tua Kumbhaghosaka mencari pekerjaan. Dia mendapatkan pekerjaan untuk membangu